Jumat, 27 Januari 2012

Efek Benturan Peradaban (Islam vs Materialisme)


A.    PENDAHULUAN
a.      Pembukaan
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (Q.S. 43 : 36)
Makna dari peradaban secara etimologi yakni berasal dari kata addaba yang artinya memperbaiki atau meluruskan. Sedangkan, secara terminologis peradaban memeiliki beberapa arti yakni istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah "budaya" yang populer dalam kalangan akademis[1]. Namun dalam pengertian lain yakni peradaban berarti manifestasi iman di dalam segala aspek kehidupan[2]. Dan makna peradaban ini juga dapat di perluas sebagai memanifestasikan iman serta mengikuti pola hidup Rasulullah dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat.
Materialisme suatu cara pandang yang real terhadap dunia alam raya yang bersifat materi atau kebendaan. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Dan dalam hal ini Materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti keTuhanan, hantu, jin, setan, dan semua hal yang tidak bisa dibuktikan secara inderawi oleh manusia[3].
b.      Latar Belakang
Ada dua hal yang menarik dan sekaligus tragis, berkenaan dengan fenomena umat Islam di Indonesia. Pertama, keberadaannya dalam sejarah Indonesia sebagai pelaku yang aktif dan sangat banyak berkorban demi kemerdekaan dan masa depan Indonesia. Kedua, di tengah keberadaannya sebagai mayoritas mutlak, umat Islam nyaris tidak memiliki konsep dan pemikiran representative yang didasarkan pada nilai-nilai dan ajaran Islam bagaimana mestinya mengantarkan dan mendesain Indonesia masa depan.
B.     PEMBAHASAN
a.      Sudut Pandang
Peradaban Barat modern yang kita kenal sekarang ini, jika dikaji secara cermat adalah suatu peradaban yang menempatkan materi, suatu simplifikasi atas pandangan Aristotelian tentang materia prima, sebagai titik tolak keyakinannya. Keyakinan material inilah yang kemudian dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti sumber motivasi (n-ach), verifikasi keilmuan, gaya dan standardisasi hidup bahkan secara vulgar menuding bahwa kemiskinan (ketiadaan materi) adalah sumber kejahatan.
Begitu juga halnya dalam aspek gaya hidup dan penghargaan manusia yang satu atas manusia yang lain jelas ditunjukkan seberapa besar asset yang dimilikinya. Siapakah kamu? Pertanyaan ini, dalam “bawah sadar” orang-orang Barat modern, berarti berapa uang yang anda miliki, luas tanah, perhiasan, kendaraan dan hal-hal material lainnya. Semakin banyak anda memiliki itu, maka penghormatan besar akan diberikan. Begitu juga sebaliknya, jika anda tidak memiliki hal-hal material tersebut, maka itu berarti anda bukanlah siapa-siapa; eksistensi diri anda dinafikan.
Ketika orang-orang miskin meratap dan berusaha mempertahankan hak-haknya untuk hidup, misalnya dengan cara berjualan, maka dapat kita saksikan betapa beringas dan kejamnya “kaki tangan” pemilik modal ini dalam menghardik dan mengusir mereka. Tentu semua itu mereka lakukan berdasarkan dari aturan yang sudah dibuat, tetapi mengapa aturan dibuat seperti itu, itu juga merupakan kepanjangan dari pemodal sendiri. Dalam kapitalisme tidak ada nilai-nilai kemanusiaan atau kasih sayang, tetapi menguntungkan atau tidak, karena materi adalah ukuran yang utama.
b.      Pokok Masalah
Sifat dari suatu peradaban besar adalah meluas atau menyebar serta lebih cenderung bersifat terbuka (ekspansif), yakni yang menyebarkan dan mentransmisikan ajaran-ajaran, nilai-nilai, gaya hidup dan wacana ke berbagai aspek kehidupan dan ke seluruh umat manusia. Sifat dasar inilah yang membuat ideologi itu berkembang pesat dan selanjutnya berkarakhter hegemonik terhadap seluruh umat manusia yang mampu dijangkaunya. Sementara di bumi ini, ada sejumlah peradaban yang memiliki keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain.
Lalu apakah yang akan terjadi jika peradaban-peradaban itu bertemu dalam sejumlah aspeknya? Jawaban sederhana dari fenomena pertemuan dua peradaban atau lebih ada beberapa kemungkinan. Pertama, yakni dialogis atau suplementatif, jika peradaban-peradaban yang bertemu tersebut tidak sempurna atau tidak bertolak belakang secara prinsipal. Kedua, adalah konflik atau benturan, karena titik tolaknya dari orientasi yang bertentangan.
Sebagaimana kini telah diperingatkan (disinyalir) oleh sejumlah pihak, bahwa dalam era ini telah terjadi potensi benturan sejumlah peradaban, yang bersumber dari ajaran Islam, Konfusianisme, Hindu-Budha, Komunis dan Barat. Bagaimanakah benturan peradaban itu terjadi. Untuk memahami persoalan ini ada baiknya kita mengangkat kasus-kasus kemanusiaan, terutama berkenaan dengan moralitas, misalnya perzinaan, hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan. Dilihat dalam perspektif peradaban Barat, selama perbuatan itu dilakukan suka sama suka, jelas bukan tindakan yang amoral, artinya diperbolehkan.
Dilihat dalam perspektif peradaban Timur, seperti Hindu, Budha atau Shintoisme mungkin dipandang sebagai tindakan amoral, tetapi tidak perlu ada pidana fisik. Sebaliknya, kasus yang sama jika dilihat dalam perspektif Islam, jelas merupakan pelanggaran berat dengan konsekuensi hukum rajam dan bila hal itu dilakukan oleh orang yang sudah menikah hukumannya adalah “mati.” Sebaliknya, qisas[4] yang dinyatakan oleh Al-Qur’an sebagai penjamin kehidupan, dianggap sebagai suatu yang keji oleh peradaban lain, terutama Barat. Perbedaan bahkan pertentangan pandangan serta konsekuensi hukum dari masing-masing peradaban itulah yang seringkali melahirkan benturan-benturan.
Serta dalam perbedaan-perbedaan tersebut yang dapat memberikan dampak kepada masyarakat. Namun jika kita tinjau dari masyarakat Indonesia itu sendiri yang mayoritas masyarakatnya memiliki sifat yang mudah tepengaruh dan mudah meniru. Dengan adanya paham yang ada pada barat khususnya paham yang mengutamakan segala sesuatu terhadap material.
Sehingga kebudayaan material dan gaya hidup kebarat-baratan cenderung lebih cepat menjalar dan diterima oleh masyarakat. Kesalahpahaman mengartikan “hidup modern” akan membawa kita dalam kehidupan yang tanpa moral dan hilangnya kepribadian bangsa. Individualisme, konsumerisme berlebihan, minuman keras, hidup bebas, obat terlarang, brutalisme, dan atheisme adalah sikap dan gaya hidup yang harus dihindarkan akibat negative dari globalisasi.
Oleh karena itu, nilai budaya Indonesia diharapkan tidak ada tergeser dan nilai hakikinya, yaitu nilai kekeluargaan dan kegotongroyongan. Sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pembangunan bangsa, khususnya perkembangan budaya. Kedatangan setiap teknologi baru harus kita terima dengan pikiran terbuka dan penuh kewaspadaan.
Sehingga setiap arus informasi yang berkesinambungan dari media dan kontak langsung dengan dunia luar akan mempengaruhi perubahan sosial. Sangat banyak perubahan social yang dapat mempengaruhi Indonesia. Hal yang berpengaruh terhadap bangsa Indonesia adalah bahaya westernisasi yang di timbulakn akibat pengaruh dari materialism.
Dengan adanya weternisasi dapat mengubah adab-adab, kebiasaa, atau kultur yang ada pada pemuda-pemuda yang ada di Indonesia. Sehingga jika kita perhatikan secara seksama saat ini kebanyakan pemuda Indonesia sudah banyak yang terpengaruh oleh budaya-budaya westernisasi atau budaya kebarat-baratan. Selain itu juga banyak para pejabat-pejabat Negara yang kurang mentaati ajaran-ajaran yang ada pada agama. Kebanyakan pejabat yang ada di pemerintahan beragama islam namun kebenyakan dari mereka juga kurang memperhatikan hukum-hukum yang ada dalam islam itu sendiri.
Masih banyak pejabat-pejabat yang lapar akan harta serta masih banyak pula yang masih belum puas denga harta yang ia miliki sehingga mereka melakukan hal-hal yang sepatutnya tidak di lakukan. Salah satunya yakni kasus korupsi yang sedang gempar di Negara kita Indonesia ini. Apa yang dapat menyebabkan mereka melakukan hal-hal tersebut kalu bukan karena materi semata yang mereka cari dan kepuasan nafsu belaka.
Semua itu terjadi karena adanya budaya materialisme yang serba menggantungkan segala sesuatu terhadap materi, dan bahkan nyaris dalam konsep materialism tidak memliki nilai-nilai ketuhanan. Dan bahkan dalam konsep materialisme atau kapitalisme beranggapan bahwa materi atau harta benda itu adalah segala-galanya.
C.    KESIMPULAN
Dengan adanya dan masuknya budaya materialisme  ke Negara kita Indonesia ini sangat mempengaruhi dan sangat merusak moralitas bagsa. Dengan budaya materialisme yang menggantungkan segala sesautu terhadap benda dan materi semata sehingga tidak lagi mempercayai nilai-nilai keTuhanan. Oleh karena itu, perlu kita kembali kepada konsep Tuhan yakni kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits agar kita dapat mengantisipasi dan dapat meghapuskan konsep materialisme atau kapitalisme yang seudah menjarah pada bangsa Indonesia.


[1] . "Civilisation" (1974), Encyclopaedia Britannica 15th ed. Vol. II, Encyclopaedia Britannica, Inc., 956.
[2] . Pengertian yang biasanya di gunakan di pondok pesantren Hidayatullah yang di gagaskan oleh Ust. Suharsono
[3] . Drijarkara. 1966. Pertjikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan Djakarta. Hal. 57-59.
[4] . Salah satu model pidana atau hukum yang ada di dalam Islam

1 komentar: